Kamis, 30 Desember 2010

Harus Berbentuk Negara?

Harus Berbentuk Negara?

Kali ini saya mau menulis tentang, apakah keamiran itu harus dalam skala negara? Karena, permasalahan ini penting. Hizb Albaniyah selalu berargumen bahwa keamiran yang sah  dimaksud adalah "negara". Saya sendiri secara pribadi tidak melihat adanya keharusan jamaah itu mesti dalam skala negara. Bagi saya kalau punya jamaah/keamiran dalam skala negara atau dunia itu tentu bagus, tapi tetaplah bukanlah suatu keharusan. Apakah dasar pijakan saya?

1. Tidak ada satupun ayat Al-Quran ataupun Hadits nabi yang menyatakan bahwa syarat keimaman itu harus punya wilayah teritori. Atau, ditemukan nash yang menyatakan bahwa keimaman tanpa kedaulatan wilayah teritori tidak sah. Jikalau hal ini yang membedakan antara jamaah yang sah dan tidak, tentulah sudah diturunkan ayat tentang teritori dan dibahas di hadits secara eksplisit/jelas. Memang ada di hadits lain keamiran itu laksana perisai, pelindung, pengaman jalan2. Tetapi itu hanya sebuah keniscayaan. Misalkan: ayat "sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar" adalah keniscayaan bahwa dengan sholat secara benar maka akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi kalaupun ada orang yang masih berbuat kemunkaran (entah sedikit atau banyak) BUKAN BERARTI sholatnya selama ini tidak sah/batal. Contoh lain: hadits nabi "... sesungguhnya dengan menikah itu akan menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan/kemaluan". Ini juga sebuah keniscayaan. Dengan menikah,diharapkan pandangan akan terjaga begitu pula dengan kehormatan. Tetapi kalaupun masih ada yang suka lirik2 cewek cantik bukan berarti selama ini pernikahannya tidak sah. Bahkan kalaupun terjadi perzinahan, setahu saya tetap pernikahannya yang dulu tidak batal. Jadi kesimpulannya adalah, walaupun keimaman itu sebagai pelindung, pengayom, dan sebagai penjaga keamanan untuk jalan2, itu adalah sebuah keniscayaan. Maksud dari keniscayaan adalah, dengan melakukan apa yg dianjurkan itulah maka akibatnya akan terjadi. Tetapi kalau akibatnya tidak/belum terjadi/terlihat bukan berarti perbuatan "melakukakannya" itu tidak sah.

2. Bahkan Ali r.a berhujah: "jamaah adalah berkumpulnya ahli haq meskipun sedikit". Ini menunjukkan bahwa sah atau tidaknya jamaah ya tidak perlu tunggu sampai segede negara RI. Yang menggelikan, hizb Albaniyah selalu menyatakan "kamilah jamaah meskipun masih sedikit". Jadi saya melihat standar ganda yang dipakai hizb ini: kalau menilai diri sendiri bolehlah memakai kaidah yang lunak, tapi kalau menilai orang lain harus dibuat sesulit dan semustahil mungkin (hizb ini menganggap dirinya sah sebagai jamaah walau masih sedikit menggunakan hujah Ali ra, tetapi kalau menilai LDII jamaahnya tidak sah karena tidak sebesar negara RI). Enak kan jadi anggota pengajian hizb Salafi bodong? Makanya ikut pengajian salafi bodong, semua dalil dan hujah sudah diracik dan diramu sedemikian rupa untuk menguntungkan pengajian bodong ini.

3. Di sebuah blog pro Hizb Albaniyah, ada sebuah pembahasan tentang Al-Ahkamu As-shultoniyah karya Imam Mawardi. Ada 10 point tentang tugas seorang amir yang dibahas. Di tulisan pada blog itu, si pemilik blog menyentil bahwa LDII hanya mau sebagian dari 10 tugas amir, yaitu menetapkan infaq persenan dan mengabaikan tugas yang lainnya. Oleh sebab itu keimaman LDII tidak sah. Sedangkan presiden RI yang menjaga perbatasan dan punya angkatan perang, adalah imam yang sesuai dengan kriteria Al Ahkamu As Shulthoniyah ini. Mau tau argumen saya? lihat point2 di bawah ini:

a. Butir2 10 tugas pokok amir dalam Al ahkamu as sulthoniyah bukanlah sebuah ayat atau hadits. Ini adalah hanya sebuah "karya ilmiah fiqh" seorang ulama (meskipun tentu saja ada ramuan hadits2/dan ayat2 alquran di dalamnya). Pendapat ulama tidak bisa dijadikan pijakan sebagaimana layaknya sebuah quran atau hadits. Apalagi jika diplintir sedemikian rupa sehingga malah kelihatan berlawanan dengan ayat/hadits yang derajat hukumnya lebih tinggi. Jadi tidak bisa diambil kesimpulan: "kalau seorang amir tidak memenuhi 10 tugas pokok yang dibahas dalam ahkamu as sulthoniyah maka keamirannya tidak syah".

b. Seorang ulama yang membukukan sebuah karya ilmiah seperti kitab al ahkamu As sulthoniyah punya keterbatasan. Pertama, beliau hanya mendeskripsikan model di mana pada zaman beliau hidup itu (sekitar 450H) umat islam masih terkonsentrasi di jazirah arab, di mana banyak sekali pecahan daerah yang dikuasai dinasti-dinasti islam. Kedua, kalaupun beliau punya visi jauh ke depan (i doubt it) tentang kondisi umat islam di berbagai belahan dunia seperti sekarang, buku itupun hanya untuk membahas tentang sebuah keamiran yang sudah dalam skala negara seperti model kerajaan saudi. Tetapi lagi-lagi tidak bisa dijadikan pegangan tentang sah atau tidak nya keimaman LDII.

c. Kalaupun kita umpamakan (BIG IF) al ahkamu as sulthoniyah tetap dijadikan acuan sebagai sah atau tidaknya sebuah model keimaman, maka konsekwensinya negara Indonesia JUGA BUKAN jenis keamiran yang sah. Coba saja kita lihat, berapa point al ahkamu as sulthoniyah yang bisa dipenuhi oleh seorang presiden RI? Misalkan pada saat si megakarti atau SBY jadi presiden. Apakah dia bisa "menjaga agama sesuai dengan dasar2 yg establish dan ijma ulama. Jika muncul pembuat bid'ah, ia menjelaskan hujah kepadanya"? (tugas nomer 1)  atau "menegakkan hudud melindungi larangan2 Allah dari upaya pelanggaran kepadaNya dan melindungi hak2 hamba-hambanya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya"? (tugas nomer 4). Alih2 mengharapkan presiden RI bisa menegakkan hudud, wong UU pornografi saja dibuat oleh DPR dan telah direduksi sedemikian rupa sehingga hanya jadi penghias lembaran negara saja. Batasannya pun bukan karena "melanggar larangan Allah" tetapi karena telah "melanggar nilai2 kesusilaan dalam masyarakat". Jadi adanya anda bisa beribadah di indonesia bukan karena Presidennya menegakkan hudud, tetapi disebabkan presidennya ingin menegakkan HAM. Sama saja seperti di Amerika atau Australia, di mana semua orang islam bebas beribadah. Bukan karena si Barack Obama tahu akan hudud, akan tetapi karena kebetulan dia memang harus memberi kebebasan beribadah sebagai cerminan HAM yang diusung  konstitusi di negaranya.

Jadi lagi2 Hizb Albaniyah ini pilih2 syarat (standar ganda). Kalau untuk LDII harus memenuhi semua syarat2 di kitab ahkamu tersebut, tapi kalo negara Indonesia yang menjadi model keimaman Hizb ini, maka bolehlah diperlunak (bolehlah hanya memenuhi beberapa point saja). Enak kan? makanya ikut pengajian Hizb Salafi Indon ini. Semua dalil bisa dikompromi, bisa dipesan, bisa diracik, bisa dimaklumi kalau hanya yang menguntungkan saja yang diambil.