Rabu, 22 Desember 2010


A. Berjama’ah adalah ciri Agama Samawi

Salah satu cirri khas dari agama samawi (agama yang diturunkan oleh Allah dari langit dan bukan buatan manusia) yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu adalah bahwa Allah memerintahkan agar orang-orang yang beriman di sepanjang zaman, agar; mereka berjama’ah dan janganlah berfirqah, perhatikan firman Allah :

Artinya : "Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwariskan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ‘Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya." Qs. As Syura : 13


Keterangan : ayat diatas menjelaskan bahwa dari sejak terutusnya Nabi Nuh alaihis salam sebagai awal Rasul, Allah telah melarang mereka berfirqah, dengan kata lain Allah memerintahkan mereka agar berjama’ah. Kemudian kepada kita umat Nabi Muhammad dimana beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul, Allah telah menegaskan perintah berjama’ah dan larangan berfirqah :


Artinya : "Dan berpeganglah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah dengan berjama’ah dan janganlah kamu bercerai berai." Qs Ali Imaran : 103

Keterangan : pada ayat ini secara tegas Allah memerintahkan agar Dienul Islam ditetapi dengan berjama’ah dan Allah melarang dari firqah (bercerai berai)

B. Bantahan dan jawaban :

Pendapat bahwa jami’an maknanya bukan jama’ah
Fihak yang “anti jama’ah” berpendapat bahwa; jami’an pada ayat di atas bermakna (kamu) semuanya jadi tidak ada hubungannya dengan perintah berjama’ah.

Jawabnya: Memang benar kalimat jami’an bisa bermakna semuanya, tapi kalimat jami’an pada ayat tersebut bermakna berjama’ah, hal ini di perkuat dengan adanya qarinah (rangkaian kalimat) yang bermakna larangan firqah (tidak jama’ah) di belakang kalimat jami’an. Perbandingannya perhatikan kalimat jami’an pada ayat berikut ini :


Artinya : "Tidak ada halangan bagi kamu untuk makan berjam’ah (bersama-sama) atau sendirian." Qs An Nur : 61


Artinya : "Kamu kira mereka itu berjama’ah (bersatu) sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti." Qs Al Hasyr : 14

Mereka mengemukakan bantahan; Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir (Tafsit Ibnu Katsir adalah kitab Tafsir Al Qur’an yang paling popular karya Imam Imaduddin Isma’il bin Umar bin Katsir rahimullah wafat bulan Sya’ban 774 H - Februarii 1373 salah satu murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) lafadz jami’an tidak diartikan berjama’ah.

Jawabnya: benar Imam Ibnu Katsir tidak member arti “berjama’ah” pada lafadz jami’an tapi dengan tengas beliau menjelaskan perintah berjama’ah pada kalimat wala tafarraqu perhatikan penjelasan beliau :

Adapun (arti) firman-Nya: wala tafarraqu; Allah perintah pada mereka agar berjama’ah dan mencegah mereka dari firqah. Kemudian beliau berhujjah pada dalil Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

Dari Abi Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah ridha tiga perkara pada kamu sekalian dan benci tiga perkara pada kamu sekalian, yang Allah ridha adalah kalian beribadah kepada-Nya dengan tidak menyekutukannya dan bahwa kalian menetapi tali (agama) Allah dengan berjama’ah dan tidak berfirqah dan Allah benci dari kalian “dikatakan dan dia berkata” (katanya dan katanya) dan banyaknya pertanyaan dan menyia-nyiakan harta." HR Muslim : 4578

Catatan: dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa perkara ke-3 yang dicintai Allah adalah

Dan bahwa kalian berbakti (taat) kepada orang yang oleh Allah diserahi mengurus perkara kamu sekalian (imam)
Diantara sahabat Nabi adalah Abdullah bin Mas’ud yang memperkuat penafsiran jama’ah pada kalimat tersebut

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a sesungguhnya dia berkata di dalam arti firman-Nya : wa’ tashimu bihablillahi jami’an dia mengatakan: (maksudnya adalah) al jama’ah. Tafsir At Thabari : 5973

Dan banyak dalil dari hadits-hadits yang shahih bahwa Rasulullah memerintahkan agar umatnya senantiasa luzumul jama’ah (menetapi jama’ah)

C. Kesimpulan
Berjma’ah di dalam menetapi Islam adalah suatu keniscayaan meskipun berjama’ah tidak masuk dalam rukun Islam yang lima, akan tetapi berdasarkan dalil-dalil shahih dari Al Qur’an dan As-Sunnah dapat diketahui dengan jelas bahwa Islamnya seseorang tidak akan sah melainkan dengan berjama’ah, maka jelaslah berjama’ah di dalam menetapi Islam hukumnya wajib, dalam qaidah ushul fiqh dijelaskan

Sesuatu perkara yang bila perkara wajib tidak bisa sempurnah melainkan dengannya maka hokum perkara itu adalah wajib. Al-qawa’id wa al-Ushul al-jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah (Syaikh as-Sa’di : 36) dan Nazhm al-Waraqat (Syaikh ad-Din al-Umrithi : 20)

Sebagai contoh perbandingan wajibnya berwudlu ketika akan shalat walaupun wudlu bukan bagian dari rukun shalat akan tetapi tidak sah shalatnya orang yang tidak wudlu. Singkat kata berjama’ah adalah kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, perhatikan hadits di bawah ini

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dan aku perintahkan pada kalian lima perkara yang Allah telah perintahkan kepadaku denganya, yaitu; mendengarkan dan taat, jihad, hijrah dan jama’ah maka sesungguhnya barangsiapa yang memisahi jama’ah (walaupun) satu jengkal maka sungguh dia telah melepaskan tali Islam dari lehernya kecuali jika ia kembali dan barangsiapa yang memanggil (orang lain) dengan panggilan jahiliyah maka sesungguhnya dia termasuk keraknya jahannam, seorang lelaki bertanya “Wahai Rasulullah bagaimana jika dia tetap shalat dan berpuasa?” Nabi menjawab “Walaupun dia tetap shalat dan berpuasa, maka panggillah dengan panggilan Allah yang Allah telah namakan untuk kalian; orang-orang imanorang-orang Islam, wahai hamba Allah." HR At Tirmidzi : 2790 (Abu Isa : Hasan Shahih)