Jumat, 24 Desember 2010

Bantahan dan Jawaban Seputar Keamiran



Bantahan I; Imam Harus Mempunyai Kekuasaan ?

Sebagian mereka mengatakan imam harus berkuasa seperti pemerintah, jadi tidak sah kalau imam tidak mempunyai kuasa atau otoritas,
contohnya; melaksankan hokum syariat.

Jawab: Persyaratan Imam yang di bai’at haruslah mempunyai wilayah kekuasaan sehingga bisa menegakkan hokum syariat Islam, seperti hokum hudud dan lain-lain, ini adalah persyaratan yang diada-adakan dan bertentangan dengan kenyataan sejarah;


Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara rahasia telah diba’at oleh orang-orang Anshar di Aqabah tepatnya di kawasan dekat dengan Jumrah Ula peristiwa ini terjadi dua kali, yang pertama pada musim haji tahun ke-12 dari keNabian, yang kedua pada musim haji tahun ke-13 dari keNabian, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mempunyai wilayah kekuasaan.

Bantahan II; Pemerintah adalah Imam ?

Sebagian mereka mengatakan imam itu adalah pemerintah, jadi kalau ada yang mendirikan jamaah dan mengangkat imam itu tidak sah dan halal diperangi.

Jawab: Bagi kaum muslimin yang tinggal di negeri Islam seperti Saudi Arabia pendapat itu benar 100% tapi bagaimana dengan umat Islam yang tinggal di negeri sekuler yang pemerintahnya orang-orang non-muslim, apakah itu bisa dikatakan “yang memiliki perkara dari golongan kalian orang-orang iman?” padahal di awal ayat (An-Nisa : 59) Allah menegaskan firmanNya khusus kepada “wahai orang-orang yang beriman”

Dan bagaimana jika yang jadi pemerintah (Presiden atau Perdana Menteri) adlah perempuan ? sedangkan hal itu sangat diingkari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dan Abu Bakrah berkata; Sungguh Allah telah member manfaat kepadaku dengan kalimat (hadits) sewaktu perang Jamal tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan perkaranya pada orang perempuan. HR Al Bukhari 6570

Keterangan:
Perang antara Pasukan Khalifah Ali melawan pasukan yang dipimpin Ummul Mukminin Aishah terjadi pada tahun 11 Jumadil akhir 36 H atau Desember 657 M, Abu Bakrah merasa beruntung sebab dengan tahu Hadist tersebut dia tidak menyertai pasukah Aishah

Bantahan III; MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Indonesia kedudukannya adalah sebagai Imam ?

Mereka mencoba membuat alasan lagi, walaupun di negeri sekuler tapi kan ada institusi/badan Islam MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Indonesia

Jawab: Benar memang ada tapi MUI, tapi bukankah MUI itu bersifat pimpinan kolektif ?, jadi jelas itu bukan imam yang dibai'at, oleh karenanya tidak bisa dipaksakan bahwa mereka itu bisa di kategorikan sebagai imam, sebab kedudukan MUI tidak lain hanyalah sebagai Majelis Syura atau lembaga Musyawarah bagi para ulama’ (bukan umara’) sehingga statusnya bukan sebagai ulil amri.

Sungguh aneh ketika mereka mengatakan bahwa imam/amir bagi mereka adalah pemerintah (Presiden), padahal Presiden itu dipilih dengan system demokrasi (pemilihan umum) sedangkan mereka sangat anti dengan system demokrasi, bagi mereka system demokrasi adalah produk haramnya orang-orang kafir bahkan As-Syaikh Al-Allamah Muhammad Amin As-Syanqithi salah satu ulama’ besar kaum “salafiyin” menyatakan: “Politik gaya demokratisme itu adalah anak perempuannya anjing." (maksudnya, haram, najis dan hina). Ruju’/taubatnya Ja’far Umar Thalib : Salafiyunpad. wordpress.com

Nampak jelas aqidah para “pengaku salafi” di bangun di atas pondasi yang sangant rapuh sehingga mereka bersifat plin-plan dalam pendirian, sangat mudah brubah-rubah dan tidak sejalan antara ucapan dengan perbuatan, atau meminjam istilah yang mereka buat mereka layak di juluki Al-Bungloni (seperti bunglon yang sering berubah-rubah warna kulit: istilah ini mereka gunakan untuk menghina golongan di luar manhaj mereka)