Kamis, 30 Desember 2010

Berlebih-lebihan?

Ada sebuah blog yang lumayan jadi acuannya hizb Albaniyah/Salafi-indon dengan alamat: hxxp://rumahku-hina.blogspot.com (alamat sengaja disamarkan tapi dimiripkan dalam rangka mengusung azas praduga bersalah) dan ber-slogan "hijrahlah bersama kambing!" (lagi-lagi disamarkan tapi dimiripkan).
Tulisan-tulisan di situs blog tersebut kelihatan ilmiah, tapi sangat tendensius dan dilengkapi dengan logika yang keblinger. Saya akan cuba mengupas beberapa tulisan di blog itu dalam beberapa seri tulisan ke depan.
Untuk ulasan perdana, saya ambil salah satu contohnya mengenai tulisan: "Terapi dari Rasulullah Bagi orang yang terkena penyakit was-was percikan kencing ".
Judulnya serasa meyakinkan, padahal judul dengan sasaran tembak isinya tidak ada hubungannya dengan metode pensucian ala LDII.

Di salah satu potogangan tulisan, si pengikut hizb Albaniyah ini menulis:
"...Ada yang rela mengepel lantai, mencuci sajadah, pakaian dan sarungnya hanya karena terinjak atau digunakan selain kelompoknya, yang tidak diketahui apakah mereka sesuci ‘dengan gaya mereka’ atau tidak. Padahal kalau kebenaran itu sesuai metode mereka, maka seharusnya mereka cuci juga uang-uang dalam dompet-dompet mereka yang bahkan tidak diketahui dari tangan siapa uang itu sebelumnya?!!, ini suatu yang menggelikan..."

Potongan tulisan ini adalah cerminan dari si penulis yang tidak mau melihat pada kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Usaha menjaga kesucian adalah sebuah hal yang positif. Adapun hal-hal yang di luar kemampuan tentu ada pengecualiannya. Yang penting sudah usaha. Memangnya, ketika seorang dari hizb Albaniyah mengharamkan foto, dia tidak akan menggunakan uang kertas dan koin yang ada gambar manusianya??? Janganlah mengejek orang lain yang justru berbalik jadi ejekan ke dirinya yang lebih menggelikan.

Kemudian di tulisan itu Nabi menganjurkan agar tidak was-was: jangan kencing di tempat dia mandi/wudhu. Dan ada beberapa cerita tentang sahabat/tabiin yang memercikkan air setelah kencing sebagai "ijtihad" pribadi. Tetapi rakyu si penulis malah membenturkan pendapat ulama yang berbeda cara mensucikan dengan sengaja membenarkan pendapat seorang ulama saja. Lalu tiba-tiba ditulis: "inilah contoh kaum salaf.. ." padahal yang memerciki air itu adalah sahabat juga. 

Inilah tipikal tulisan salafi-indon:
1. membenturkan cara dari berbagai macam "ijtihad" pribadi sahabat/ulama.
2. memilih dari "ijtihad" tersebut mana yang sesuai dengan cara idolnya (Albany) dan ditutup dengan "ini lho cara salafi"
3. meninggikan derajat "ijtihad" yang dipilih melebihi hadits-hadits mahsyur yang jelas-jelas tidak mendukung "ijtihad"/tatacara tersebut.
4. mengejek yang tidak sesuai dengan "cara salafi" dan kalau perlu dilabeli sesat/bid'ah.
Padahal di riwayat tersebut saya tidak merasa ada yang salah dengan "ijtihad" pribadi-pribadi sahabat/ulama yang memang tujuannya adalah untuk mensucikan dari bekas najis. Karena sikon dari masa ke masa pasti berbeda.

Kemudian di bagian tulisan yang lainnya si pengikut hizb Albaniyah ini juga menyindir LDII yang "ber-lebih2an" dalam air. Meskipun saya yakin orang-orang LDII setuju bahwasanya ber-lebih2an dalam air itu jelek, tetapi batas "berlebih-lebihan" sangatlah susah ditentukan. Meskipun nabi mencontohkan wudhu cukup dengan 2 liter air, tetapi memang mandi-nya beliau pun (sesuai hadits yang dikutip di tulisan itu) juga dengan 8 liter air (kira2 kurang dari setengah dari botol galonan aqua). Lha kalau si penulis menganggap wudhu-nya orang LDII berlebih-lebihan, berarti dia harus konsisten untuk mandi hanya dengan 8 liter air sekali mandi. Kalau lebih dari itu ya sama saja: "berlebih-lebihan" jatuhnya.

Moral dari sentilan saya: jangan suka saling menuding sesuatu hal yang abstrak seperti menembak LDII sebagai "berlebih-lebihan". Saya sering melihat di mesjid-mesjid LDII ada tulisan "jangan isrof". Itu menunjukkan bahwa orang-orang LDII sadar akan anjuran untuk tidak berlebih-lebihan. Kecuali anda mandi dengan 8 liter air setiap kali mandi, barulah anda boleh mengutarakan bahwa penggunaan air/wudhu orang LDII itu berlebih-lebihan.
 
Berpikir Sederhana
Ada dua cerita yang cukup menarik. Saya tidak tahu apakah ini benar2 ataukah cuma urban legend, chicken soup, ataupun hoax. Tapi tetap akan saya tampilkan di sini karena cukup inspiratif.

1. Para astronaut menemukan kesulitan dalam menulis di angkasa luar yang tidak ada gravitasi. Hal ini disebabkan pulpen yang biasa kita pakai di bumi mengandalkan gaya gravitasi sehingga tintanya bisa turun ke mata pulpen dan akhirnya menempel di kertas. Dua negara adidaya yang juga ahli dalam eksplorasi ruang angkasa: USA dan Rusia menanggap hal ini harus ditemukan solusinya karena tulis menulis di ruang angkasa sangat relevan dengan kegiatan penelitian yang mereka lakukan.
USA yang dimotori oleh pakar2 NASA mengeluarkan dana riset yang mahal dan meng-hire perusahaan consulting yang  besar untuk menemukan solusi ini. Setelah bertahun-tahun riset dan biaya jutaan dolar yang digelontorkan, akhirnya mereka berhasil menciptakan pulpen yang bekerja di ruang tanpa gravitasi.
Sementara anda tahu apa yang dilakukan oleh Rusia dalam menemukan solusi problem ini? Mereka mengganti pulpennya dan mulai menulis dengan PENSIL!!!

2. Di jepang pada suatu waktu banyak keluhan diterima dari pengguna sabun deterjen kotak yang menemukan kotak kosong ketika membeli produk deterjen kotak tersebut. Walhasil para produsen sabun menganggap ini adalah persoalan serius karena menyangkut kepercayaan konsumen.
Produsen/Pabrik A langsung bersikap dengan menggelontorkan dana riset menciptakan alat yang bisa mendeteksi kotak yang kosong. Setelah tahunan dan jutaan yen riset, mereka berhasil menciptakan alat yang bisa melihat (seperti x-ray scan) kotak sehingga bisa menentukan mana kotak yang kosong dan mana yang berisi. Problem resolved.

Sementara Pabrik sabun B memerintahkan kepala pabrik untuk meletakkan kipas angin di dekat ban berjalan sebelum pengepakan final. Sehinggal jika ada kotak yang terlewat diisi sabun deterjen, kotak kosong itu dengan sendirinya akan jatuh tertiup angin!!!

Terlepas dari ada tidaknya kejadian di atas, pelajaran yang kita bisa ambil adalah kesederhanaan berpikir. Problem selalu ada di kehidupan ini menunggu untuk diberikan solusi. Tetapi kebanyakan dari kita tergiring oleh intuisi bahwa setiap solusi pastilah menguras resource yang besar sehingga solusi-solusi sederhana sering terlewat. Tulisan ini tidak anti riset. Tetapi maksud dari tulisan ini adalah untuk jangan melupakan apa yang ada di sekitar kita. Jika memang bisa memecahkan masalah dengan meminimise efek sekunder, ya monggo dijalani. Jangan tergiur dengan jargon "solusi elegant" dalam memecahkan sebuah masalah.
Kemanakah arahnya dari tulisan ini?

Seperti kita lihat, perseteruan antara Salafi Indon dan LDII menginspirasi saya memuat tulisan ini. Pendekatan 2 kubu menggelitik saya menurunkan dua cerita di atas. Kubu salafi Indon dengan powerhouse nya para pakar Haromain yang dipersenjatai dengan manuscript2 lawas yang lengkap melawan kubu LDII yang kebetulan mewarisi ilmu haromain dengan kelengkapan manuscript standar.
Saya mau contohkan produk ijtihad sederhana: bagaimana membentengi efek buruk merokok bagi umat islam?

Kelompok salafi indon dengan kemampuannya dalam hal akses manuscript2 kuno menginventarisir semua pendapat ulama-ulama kemudian merangkum dan akhirnya membebek dengan produk: rokok itu barang haram. Maka yang menjualnya juga haram. Produsennya juga haram (silakan baca njelimetnya tulisan "ilmiyah" tentang rokok dari kelompok ini lewat websitenya yang bertebaran di dunia maya).
Sementara kubu LDII keluar dengan ijtihad: merokok haram (perbuatan merokoknya yang haram). Persoalan dilokalisasi. Efek sekundernya tidak terlalu besar. Tujuan juga tercapai.
Saya berpikir: kalau benda rokok itu haram, akhirnya yang menjualnya juga haram. Seharusnya makanan di meja yang ada rokoknya pun juga jadi haram. rumit. Belum lagi ada produk: foto haram. Maka kamera juga haram. Yang usaha cuci cetak foto juga haram. wuih rumitnya...

Kebodohan Hizb Albaniyah ala Salafi Indon, ala Salafi Bodong

Hizb ini sama sekali tidak mau memilih. Maunya mengambil yang enak-enak saja meskipun kontradiksi. Salah satu contoh yang paling jelas adalah ketika menerangkan masalah hadits hudzaifah tentang jaman khoir dan jaman syar:
"...snip...
Aku (huzdaifah) bertanya : "Apa yang anda perintahkan kepadaku jika aku temui keadaan (syar) seperti ini" Beliau menjawab : "Pegang erat-erat jama'ah dan imam mereka" Aku bertanya : "Bagaimana jika tidak imam dan jamaahnya?" Beliau menjawab :"Tinggalkan semua firqoh, walaupun kau menggigit akar pohon hingga ajal mendatangimu"

Pelajaran apa yang bisa diambil dari hadits di atas?
1. Jamaah itu pasangannya imam. Itulah jamaah yang dimaksud nabi. Jadi kalau ada klaim dari hizb Albaniyah bahwa mereka adalah jamaah yang dimaksud tapi tidak punya imamnya, itu namanya konyol-mengada2. Sejak kapan ada definisi jamaah tanpa imam? Jawabannya: sejak jaman hizb Salafi indon (Albaniyah) menulis paham sesat tentang jamaah di Internet.
2. Firqoh itu adalah lawannya jamaah. Jelas sekali di hadits di atas, kalau tidak ada jamaah ya yang ada cuma firqoh. Ini selaras dengan ayat:" berpegang teguhlah dengan tali Allah dengan berjamaah dan jangan berfirqoh". Jadi tidak berjamaah adalah firqoh, kalau tidak mau firqoh ya harus berjamaah. Simple.
3. Kalau anda menganggap saat ini tidak ada jamaah + imam yang dimaksud nabi, maka tinggalkan semua firqoh. Termasuk tinggalkan pengajian-pengajian hizb Salafi indon. Kenapa? karena kalau tidak ada imam+jamaah, berarti pengajian hizb Albaniyah ini hanyalah merupakan pengajian firqoh.

Tapi memang dasar salafi gemblung, sudah disudutkan dengan hadits yang jelas seperti ini masih saja berkilah. Kilahan bodohnya adalah:"Kamilah ahlussunah wal jamaah. Meskipun tidak punya imam, kamilah jamaah yang dimaksud. Pokoknya pengajian di luar kami adalah firqoh". Sudah jelas bodohnya? Ya itulah salafi palsu. Tidak bisa memilih. Maunya mengklaim tidak ada jamaahnya orang islam, tetapi giliran harus mengakui konsekuensinya bahwa yang ada semuanya sekarang ini adalah firqoh, dengan bulusnya menjawab: "ya sayalah the jamaah!" Jadi mana yang benar sih? ada jamaah atau tidak ada jamaah pada sekarang ini? Kalau anda tanyakan ke salafi palsu ya jawabannya akan membingungkan seperti di atas.

Berjama'ah ala Hizb Albaniyah (Salafi Palsu)

Konsep jamaah tanpa imam digadang-gadang oleh hizb salafi indon akhir-akhir ini. Entah niatnya ingin menyesatkan atau memang sudah terlanjur salah dan gengsi untuk itba pada jalan salafush shalih yang sebenarnya, konsep jamaah tanpa imam ini terus didengungkan hingga hari ini. Ibarat disuruh menggambar, hizb ini bagaikan menggambar seeokor ayam tanpa kepala. Dan dengan Pede (dan bebal) berseraya: Ini lho ayam utuh, ayam terbaik, ayam pilihan.

Kenapa salafi indon tetap ngotot jamaah itu tidak perlu punya imam? Mari kita telaah argumen hizb ini:
1. Jamaah adalah "Tempat berkumpulnya Ahli Haq walaupun sedikit" (kalau tidak salah atsar Ali ra)
2."apa yang saya dan para shahabatku berada diatasnya" (hadits)
3. ”Jama’ah adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meski engkau sendirian.” (ibnu Mas'ud)

Dari 3 point di atas, adakah yang menyarankan bahwa berjamaah itu boleh tanpa imam? Tidak ada. Kalaupun yang nomer 3 nyerempet2, itu karena memang kalau sudah sendirian ya ngga mungkinlah jadi imam sekaligus menjadi "rukyah". Kalau sudah sendiri, tentu saja cuma bisa bertahan dengan mengikuti kebenaran sendirian. Kalau lebih dari satu orang? mungkin point nomer 1 lah jawabannya. Tetapi tetap saja tidak ada dari point di atas yang menyatakan bahwa jamaah itu tidak perlu imam.

Saya ingin beranalogi seperti ini: Kuda itu kakinya empat. Tiba2 seekor keledai berkata: "Aku kakinya 4 lho, berarti aku seekor kuda".
Maksud saya, meskipun kuda itu kakinya 4, belum tentu semua yang kakinya 4 itu kuda. Apa relevansinya? Begini, penjabaran tentang apa itu jamaah di hadits banyak sekali. Salah satunya point nomer 2 di atas: jamaah adalah apa yang saya (nabi) dan para sahabatku berada di atasnya. Haditsnya tidak salah. Jamaah memang apa yg nabi dan para sahabat berada di atasnya. Tetapi yang ngaco adalah, tiba2 sang hizb Albaniyah dengan gaya "selonong boy" nya langsung berujar: "karena saya pede bahwa saya sesuai dengan nabi dan para sahabat, berarti sayalah jamaah yang dimaksud, meskipun saya tidak punya imam". Di mana ngaconya?
 
Hadits di atas hanyalah salah satu dari sekian hadits yang mendeskripsikan jamaah. Jadi si keledai (analogi saya tadi) seharusnya jangan keburu nafsu berkata "sayalah kuda, karena kaki saya 4". Si keledai ini sudah seharusnya mencari deskripsi tambahan supaya jangan malu-maluin. Ternyata di hadits lain jelas sekali misalkan di hadits Muslim ada deskripsi: "Tetapilah jama'ah dan imam mereka". Coba lihat tulisan saya sebelum ini tentang hadits hudzaifah mengenai jaman khoir dan syar. Di situ juga jelas tertulis: "jamaah dan imam". Jadi ternyata di hadits lain sangat jelas diterangkan bahwa jamaah itu PADANANnya ialah imam. Apakah hadits ini bertentangan dengan hadits " aku dan para sahabatku berada di atasnya?" Tentu tidak sodara2ku. Hadits ini sebagai PELENGKAP deskripsi tentang jamaah. Apa buktinya? Nabi dan para sahabat berjamaah dengan mengangkat imam. Jaman nabi, tentu imamnya nabi sendiri. Setelah nabi wafat, diteruskan 4 kholifah sebagai imam, dst. Jadi yang dimaksud aku dan para sahabatku berada di atasnya adalah: Nabi dan para sahabat melakoni jamaah dengan mengangkat imam.

Balik ke analogi keledai tadi, rupanya sang keledai tidak cermat bahwa di kesempatan lain kuda itu dideskripsikan dengan telinga yang kecil (tidak panjang seperti keledai). Keledai tetaplah keledai yang bertelinga panjang meskipun berkaki 4.
Kalau masih ngotot jamaah itu tidak perlu imam, mungkin memang anda hizb Albaniyah sudah ditakdirkan sebagai keledai yang tidak punya urat kemaluan lagi.
Intinya: jangan cepat mengambil kesimpulan karena saya sudah ikut pengajian salafi bodong otomatis saya sudah jamaah tanpa perlu mengangkat seorang imam.

NB:
sedikit tambahan, point nomer 1 mengenai "jamaah adalah berkumpulnya ahli haq meskipun sedikit", akan saya kupas di tulisan yang lain (insya Allah). Tetapi saya beri sedikit clue: hujah ini menunjukkan bahwa KEGEMARAN hizb albaniyah mensubstitusi (secara serampangan) kata "imam" dengan "penguasa negara", ternyata memang merupakan pemerkosaan arti jamaah itu sendiri. Di sini jelas sekali bahwa "jamaah adalah berkumpulnya ahli haq meskipun sedikit" justru men-support argumen: untuk mendirikan jamaah tidak perlu dimulai dengan skala negara.

Harus Berbentuk Negara?

Harus Berbentuk Negara?

Kali ini saya mau menulis tentang, apakah keamiran itu harus dalam skala negara? Karena, permasalahan ini penting. Hizb Albaniyah selalu berargumen bahwa keamiran yang sah  dimaksud adalah "negara". Saya sendiri secara pribadi tidak melihat adanya keharusan jamaah itu mesti dalam skala negara. Bagi saya kalau punya jamaah/keamiran dalam skala negara atau dunia itu tentu bagus, tapi tetaplah bukanlah suatu keharusan. Apakah dasar pijakan saya?

1. Tidak ada satupun ayat Al-Quran ataupun Hadits nabi yang menyatakan bahwa syarat keimaman itu harus punya wilayah teritori. Atau, ditemukan nash yang menyatakan bahwa keimaman tanpa kedaulatan wilayah teritori tidak sah. Jikalau hal ini yang membedakan antara jamaah yang sah dan tidak, tentulah sudah diturunkan ayat tentang teritori dan dibahas di hadits secara eksplisit/jelas. Memang ada di hadits lain keamiran itu laksana perisai, pelindung, pengaman jalan2. Tetapi itu hanya sebuah keniscayaan. Misalkan: ayat "sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan munkar" adalah keniscayaan bahwa dengan sholat secara benar maka akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi kalaupun ada orang yang masih berbuat kemunkaran (entah sedikit atau banyak) BUKAN BERARTI sholatnya selama ini tidak sah/batal. Contoh lain: hadits nabi "... sesungguhnya dengan menikah itu akan menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan/kemaluan". Ini juga sebuah keniscayaan. Dengan menikah,diharapkan pandangan akan terjaga begitu pula dengan kehormatan. Tetapi kalaupun masih ada yang suka lirik2 cewek cantik bukan berarti selama ini pernikahannya tidak sah. Bahkan kalaupun terjadi perzinahan, setahu saya tetap pernikahannya yang dulu tidak batal. Jadi kesimpulannya adalah, walaupun keimaman itu sebagai pelindung, pengayom, dan sebagai penjaga keamanan untuk jalan2, itu adalah sebuah keniscayaan. Maksud dari keniscayaan adalah, dengan melakukan apa yg dianjurkan itulah maka akibatnya akan terjadi. Tetapi kalau akibatnya tidak/belum terjadi/terlihat bukan berarti perbuatan "melakukakannya" itu tidak sah.

2. Bahkan Ali r.a berhujah: "jamaah adalah berkumpulnya ahli haq meskipun sedikit". Ini menunjukkan bahwa sah atau tidaknya jamaah ya tidak perlu tunggu sampai segede negara RI. Yang menggelikan, hizb Albaniyah selalu menyatakan "kamilah jamaah meskipun masih sedikit". Jadi saya melihat standar ganda yang dipakai hizb ini: kalau menilai diri sendiri bolehlah memakai kaidah yang lunak, tapi kalau menilai orang lain harus dibuat sesulit dan semustahil mungkin (hizb ini menganggap dirinya sah sebagai jamaah walau masih sedikit menggunakan hujah Ali ra, tetapi kalau menilai LDII jamaahnya tidak sah karena tidak sebesar negara RI). Enak kan jadi anggota pengajian hizb Salafi bodong? Makanya ikut pengajian salafi bodong, semua dalil dan hujah sudah diracik dan diramu sedemikian rupa untuk menguntungkan pengajian bodong ini.

3. Di sebuah blog pro Hizb Albaniyah, ada sebuah pembahasan tentang Al-Ahkamu As-shultoniyah karya Imam Mawardi. Ada 10 point tentang tugas seorang amir yang dibahas. Di tulisan pada blog itu, si pemilik blog menyentil bahwa LDII hanya mau sebagian dari 10 tugas amir, yaitu menetapkan infaq persenan dan mengabaikan tugas yang lainnya. Oleh sebab itu keimaman LDII tidak sah. Sedangkan presiden RI yang menjaga perbatasan dan punya angkatan perang, adalah imam yang sesuai dengan kriteria Al Ahkamu As Shulthoniyah ini. Mau tau argumen saya? lihat point2 di bawah ini:

a. Butir2 10 tugas pokok amir dalam Al ahkamu as sulthoniyah bukanlah sebuah ayat atau hadits. Ini adalah hanya sebuah "karya ilmiah fiqh" seorang ulama (meskipun tentu saja ada ramuan hadits2/dan ayat2 alquran di dalamnya). Pendapat ulama tidak bisa dijadikan pijakan sebagaimana layaknya sebuah quran atau hadits. Apalagi jika diplintir sedemikian rupa sehingga malah kelihatan berlawanan dengan ayat/hadits yang derajat hukumnya lebih tinggi. Jadi tidak bisa diambil kesimpulan: "kalau seorang amir tidak memenuhi 10 tugas pokok yang dibahas dalam ahkamu as sulthoniyah maka keamirannya tidak syah".

b. Seorang ulama yang membukukan sebuah karya ilmiah seperti kitab al ahkamu As sulthoniyah punya keterbatasan. Pertama, beliau hanya mendeskripsikan model di mana pada zaman beliau hidup itu (sekitar 450H) umat islam masih terkonsentrasi di jazirah arab, di mana banyak sekali pecahan daerah yang dikuasai dinasti-dinasti islam. Kedua, kalaupun beliau punya visi jauh ke depan (i doubt it) tentang kondisi umat islam di berbagai belahan dunia seperti sekarang, buku itupun hanya untuk membahas tentang sebuah keamiran yang sudah dalam skala negara seperti model kerajaan saudi. Tetapi lagi-lagi tidak bisa dijadikan pegangan tentang sah atau tidak nya keimaman LDII.

c. Kalaupun kita umpamakan (BIG IF) al ahkamu as sulthoniyah tetap dijadikan acuan sebagai sah atau tidaknya sebuah model keimaman, maka konsekwensinya negara Indonesia JUGA BUKAN jenis keamiran yang sah. Coba saja kita lihat, berapa point al ahkamu as sulthoniyah yang bisa dipenuhi oleh seorang presiden RI? Misalkan pada saat si megakarti atau SBY jadi presiden. Apakah dia bisa "menjaga agama sesuai dengan dasar2 yg establish dan ijma ulama. Jika muncul pembuat bid'ah, ia menjelaskan hujah kepadanya"? (tugas nomer 1)  atau "menegakkan hudud melindungi larangan2 Allah dari upaya pelanggaran kepadaNya dan melindungi hak2 hamba-hambanya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya"? (tugas nomer 4). Alih2 mengharapkan presiden RI bisa menegakkan hudud, wong UU pornografi saja dibuat oleh DPR dan telah direduksi sedemikian rupa sehingga hanya jadi penghias lembaran negara saja. Batasannya pun bukan karena "melanggar larangan Allah" tetapi karena telah "melanggar nilai2 kesusilaan dalam masyarakat". Jadi adanya anda bisa beribadah di indonesia bukan karena Presidennya menegakkan hudud, tetapi disebabkan presidennya ingin menegakkan HAM. Sama saja seperti di Amerika atau Australia, di mana semua orang islam bebas beribadah. Bukan karena si Barack Obama tahu akan hudud, akan tetapi karena kebetulan dia memang harus memberi kebebasan beribadah sebagai cerminan HAM yang diusung  konstitusi di negaranya.

Jadi lagi2 Hizb Albaniyah ini pilih2 syarat (standar ganda). Kalau untuk LDII harus memenuhi semua syarat2 di kitab ahkamu tersebut, tapi kalo negara Indonesia yang menjadi model keimaman Hizb ini, maka bolehlah diperlunak (bolehlah hanya memenuhi beberapa point saja). Enak kan? makanya ikut pengajian Hizb Salafi Indon ini. Semua dalil bisa dikompromi, bisa dipesan, bisa diracik, bisa dimaklumi kalau hanya yang menguntungkan saja yang diambil.

Manhaj Salaf Versi Syaithon???

Tulisan ini sebagai rangkuman diskusi saya dengan seseorang yang katanya bermanhaj salaf dan seseorang yang mengatakan aqidah saya sudah berbeda dengan aqidahnya.
Semakin saya banyak berdiskusi dengan para anggota firqoh Albaniyah ini semakin bingung saya me-responnya. Saya akui gerombolan ini (gerombolan-- karena tidak adanya pemimpin) banyak sekali referensinya, misalkan kitab2 fiqh. Juga gerombolan ini lebih tinggi tingkatannya dalam bertata bahasa arab. Jadi jikalau berdiskusi dengan anggota gerombolan ini, sebisa mungkin usahakan punya referensi yang berimbang. Kenapa? karena gerombolan ini tidak jujur dengan menyampaikan sebagian dan menyembunyikan sebagian dari referensi yang mereka pelajari dalam tholab. Akibatnya berdiskusi dengan gerombolan ini membuat topik diskusi berkembang ke sejarah dan pendapat ulama fiqh. Untunglah sekarang sudah jamannya internet. Sudah ada syaikh google yang sedikit banyak membantu mendapatkan data tambahan yang berimbang. Alhamdulillah, semakin terkuak ketidak jujuran pengkhianat2 ilmu ini. Sebagian point2
penting itu akan saya tuangkan di tulisan ini.

1. Hizb ini, mulai mencari2 terobosan baru dalam menerangkan jamaah. Mereka mulai mengutak-atik dari segi bahasa arab. Hizb ini memisahkan antara Al-Jamaah dan Jamaah. Menurut hizb ini, Al-jamaah adalah "firqotun najiyah" (golongan yang ditolong, golongan yang selamat), sementara jamaah adalah semua kelompok yang mengangkat imam. Bagi saya, sebenarnya kalau cuma berhenti sampai di sini, itu tidak masalah. Yang kurang ajar adalah, mereka ber-rakyu Al-jamaah boleh tidak berbentuk jamaah. Tetapi lucunya, semua contoh kasus yang diajukan dalam diskusi seperti zaman imam ahmad, atau generasi ibn umar, jelas menunjukkan bahwa orang2 shalih itu semuanya berjamaah (dalam artian mempunyai imam/ memberi baiat). Justru kesimpulan yang diambil harusnya adalah: SEMUA AL-JAMAAH berbentuk JAMAAH.

2. Mereka mengambil contoh Ibn Umar yang menunda baiat sebagai qiyas boleh tidak berjamaah. Gendheng. Ada 2 kesalahan di sini. Pertama, Ibn Umar adalah sahabat yang memberikan baiat ke banyak amir sejak zaman nabi, khalifah 4 dan amir2 berikutnya hingga wafat. Jadi apakah Ibn Umar sama dengan pendusta2 yang sekarang yang tidak punya baiat secara permanen yang hidup di zaman kini??? Kedua, Ibnu Umar tercatat pernah 2x menunda baiat. Tetapi masing2 tidak lama. Dan fakta terpenting adalah, ibn Umar menunda KARENA saat itu ADA 2 AMIR yang saling meng-klaim berkuasa. Tidak lama setelah ada yang keluar sebagai pemenang (ada yang terbunuh), ibn Umar langsung memberikan baiat. Lha kalau diqiyaskan masa sekarang mana cucok? Hizb Albaniyah, jelas tidak mau berbaiat karena TIDAK ADA keimaman yang cocok dengan idaman hati mereka. Dan kasusnya ini berbeda bagaikan siang dan malam dengan kasus Ibn Umar.

3. Mengambil sikap uzlah ketimbang mengikuti perintah berjamaah. Hujahnya adalah: kalau tidak bertemu keamiran, maka uzlah (seperti hadits hudzhaifah mengenai keamiran akhir jaman dan dukhan) karena tidak ada perintah mengangkat imam ketika yang ada hanya firqoh2.
Tidak ada perintah mengangkat imam??? yang bener ajah. Sebenarnya perintah itu banyak, cuma sudah diselewengkan saja. Berikut adalah beberapa hujah yang jelas mengenai perintah berjamaah, dan seharusnya dalam kaidah fiqh: harus mendahulukan perintah dan bukannya mengutamakan uzlah (keadaan darurat).
a. Hadits: Tidak halal hidup 3 orang di suatu belahan bumi kalau tidak mengangkat salah satunya jadi imam. (tidak dipakai oleh hizb ini karena didhoifkan oleh Albani)
b. Hadits (saya copas dari tulisan rivan firdaus di FB saya): Aku PERINTAHKAN kepada kamu sekalian (muslimin) lima perkara; sebagaimana ALLAH TELAH MEMERINTAHKANKU dengan lima perkara itu; BERJAMAAH, mendengar, tha'at, hijrah dan jihad fii sabilillah... al-hadits Di sini jelas katanya adalah: PERINTAH!!! (tapi palingan sebentar lagi juga didhoifkan nih sama mereka :)
Apa itu BERJAMAAH? Umar bin Khattab telah menjelaskan: Tidak ada islam kecuali berjamaah, tidak ada BERJAMAAH kecuali dengan BERAMIR dst. Memang bukan hadits nabi. Tapi bobotnya jauh lebih tinggi dari pendapat ulama fiqh yang generasinya jauh di bawah. Jadi yang diperintahkan nabi itu adalah BERJAMAAH DENGAN MENGANGKAT AMIR.
Kalau sudah diperintahkan begini masih mau uzlah??? Apa kata gayus?
c. Hadits: Barang siapa yang ingin berada di tengah2 surga, tetapilah jamaah ... al-hadits (lihat definisi berjamaah di atas). Ini perintah sekaligus ancaman. Kecuali yang tidak ingin berada di tengah2 surga. Lha kalu tidak mau di surga mau di mana lagi???
d. Kalau mau qiyas, hadits perintah mengangkat amir ketika safar seharusnya menyadarkan mereka. Bepergian SEMENTARA ke belahan dunia lain saja mengangkat amir. Apalagi tinggal PERMANEN.

4. Keamiran Pak Nurhasan tidak sah, karena tidak ajak2 (sepakat) dengan umat islam lainnya. Comment saya: Tidak ajak2??? Siapa mengajak siapa??? Dalam salah satu versi makalah cai yang pernah dibeberkan di internet, jelas dituliskan sekitar tahun 1941 Pak Nurhasan sudah ajak2 dan berkeliling Jawa mengkampanyekan pentingnya berjamaah. Karena mungkin belum banyak yang ngeh atau mungkin malah menentang konsepnya, maka hanya segelintir yang mau dan akhirnya berdirilah keamiran sekitar tahun 1941. Kalau sekarang, buat apalagi bermufakat dengan orang non Al-jamaah? Bagi jamaah pak Nurhasan, keamiran sudah berdiri sejak lama. Adapun yang datang belakangan, haruslah ikut yang lebih tua. Jadi bukan waktunya lagi sekarang musyawarah. Kalaulah benar2 ikut manhajnya salaf, seharusnya para Salafi Indon mencontoh ibn Umar. Ibn Umar tetap berbaiat ke yazid bin Muawiyah, meskipun sebagian sahabat seperti zubair menganggap keamiran yazid tidak sah. Ini menunjukkan pentingnya baiat ketimbang mempermasalahkan diskusi sah atau tidaknya pengangkatan seorang amir.

Sebenarnya masih banyak lagi point yang ingin saya tulis. Mungkin akan saya pecah di tulisan berikutnya. Tetapi intinya adalah: Setiap orang mudah mengatakan “saya bermanhaj salaf”. Tetapi faktalah yang bercerita:
a. Semua Al-jamaah yang awal dan mahsyur berbentuk jamaah (ada amir yang dibaiat). Kalau mau benar2 bermanhaj salaf, ikutilah jalannya mereka para salafush sholih (Al-Jamaah yg awal). Angkatlah seorang amir. Kalau tidak mengangkat amir, apakah anda masih tidak malu mengklaim “ikut jalannya para salafush sholih”???
b. Contohlah Ibn Umar. Meskipun ada amir yang disangsikan ke absahannya atau ada amir yang tidak sesuai dengan harapannya, dia tetap memberikan dan mempertahankan baiat. Kalau ibn umar seorang salafush sholih dan punya baiat, apakah anda masih tidak malu mengklaim “ikut jalannya para salafush sholih”???
c. Para salafush sholih taat pada perintah beramir. Bahkan sesama mereka saling menumpahkan darah demi menegakkan keamiran. Itu semata2 karena tahu pentingnya punya amir. Dan itu bukan contoh ashobiyah. Kalau anda berpikiran perselisihan mengangkat amir itu ashobiyah, sama aja anda menuduh para sahabat melakukan perbuatan ashobiyah.

Dari beberapa point penting di atas, masih tidak malukah mengatakan “saya bermanhaj salaf”? Silakan teruskan berkata “saya bermanhaj salaf” kalau tidak malu. Tetapi semua orang bisa melihat para pengkhianat ilmu terus berkolaborasi dengan syetan untuk menyesatkan umat. wong pinter

Jumat, 24 Desember 2010

Berbagai Kesalahpahaman Tentang LDII


Saya ingin mengulas beberapa kesalahpahaman yang saya tahu tentang LDII. Hal ini karena sudah bercampur aduknya antara informasi yang benar dan informasi yang bersifat fitnah. Walhasil orang tidak tahu lagi mana yang benar tentang LDII mana yang tidak. Saya seorang pengamat dari sudut netral berusaha menempatkan kembali beberapa salah paham yang berkembang tentang LDII. Semoga bermanfaat.

1. LDII percaya Pak Nurhasan sebagai jalan sanad satu2nya di dunia
Apa yang saya tahu:

LDII dari dulu sampai sekarang berusaha menyebarkan mubaligh2nya untuk menimba ilmu dari guru2/syekh2 yang bisa dibuktikan mempunyai ijazah sanad. Entah itu di Saudi, Thailand atau negara lain tidak masalah.

2. Tidak LDII itu neraka, hanya LDII sebagai calon ahli surga:
Apa yang saya tahu:
LDII selalu menekankan bahwa yang selamat itu adalah Islam yang bentuknya berjamaah (ada imamnya) dan ilmunya didapat dari Manqul Musnad Mutashil (MMM). Jadi terbuka kemungkinan ada jamaah lain di muka dunia ini yang juga mempunyai kaidah yang sama dan bukan LDII. Contohnya yang paling mendekati adalah keimaman kerajaan Saudi. LDII sangat respect dengan Saudi dan ulama2nya.

3. LDII tidak mau sholat di belakang non LDII:
Apa yang saya tahu:
Lihat uraian point nomer 2. LDII menganggap kerajaan saudi juga menjalankan kaidah2 keimaman dan MMM. Orang2 LDII jikalau naik haji ya tetap sholat di belakang Imam Masjidil Haram/Nabawi dan mesjid2 lainnya. Jadi tuduhan hanya mau sholat di belakang orang LDII sangat tidak valid.

4. Mencuri harta orang lain di luar orang LDII tidak apa2:
Apa yang saya tahu:
Saya pernah bertanya ke para senior LDII mengenai hal ini. Ternyata ada sebuah kisah real tentang mubaligh2 jaman Pak Nurhasan yang pergi mengaji melewati kebun mangga meminta kepada penjaga kebun. Penjaga memberikan beberapa mangga ke mubaligh tersebut. Tetapi sesampai di pondok dan Pak Nurhasan tahu, mubaligh tersebut disuruh tobat dan minta maaf pada yang punya mangga (non LDII). Bahkan ketika mubalighnya berkilah sudah minta izin ke penjaga, Pak Nurhasan tidak mau tahu karena penjaga bukan pemilik.
Dari cerita ini saya berkesimpulan bahwa di LDII mencuri harta orang non LDII adalah tetap mencuri. Adapun individu2 di LDII yang mencari2 alasan untuk tetap mencuri dan korupsi dan menipu adalah pandangan dan tanggung jawab pribadi2 tersebut. Karena kalaupun orang tersebut keluar LDII, kelakuannya pun kemungkinan besar akan sama saja (tetap gemar mencuri).

5. LDII super pede bahwa bahwa dengan masuk LDII pasti masuk surga.
Bagi saya ini terlalu "menyalah2kan orang". Adalah hak LDII untuk pede dan percaya diri bahwa dengan masuk LDII bisa masuk surga. Sebagaimana halnya anda (yang islam) percaya bahwa dengan menganut agama islam akan masuk surga. Adapun setelah masuk LDII, lagi-lagi tergantung si individu apakah mau menjalankan apa2 yang diajarkan atau tidak. Jika mau menjalankan sudah tentu akan mendapatkan ganjaran surga (menurut pemahaman LDII). Sama saja dengan kepahaman orang "umum" tentang menganut islam. Jika sudah menganut islam, tentu saja sudah memegang "tiket masuk" ke surga. Tetapi tiket tersebut bisa saja "hilang" atau "dibuang" dengan melakukan kemaksiatan (apalagi meninggal dalam keadaan maksiat). Jadi sebelum menyalahkan LDII yang super pede dengan ajarannya, silakan berkaca pada diri sendiri: Apakah anda yakin dengan islam yang anda anut? Kalau tidak yakin, buat apa capek2 menganut Islam?

Hati-hati Pelintiran Maut Hizb Albaniyah


Saya iseng2 membaca buku terjemahan syaikh Abdus Salam bin Barjas bin Nashir, seorang ulama yang menjadi salah satu acuannya kelompok Hizb Albaniyah atau yg terkenal dengan sebutan Salafi Bodong. Syaikh nya tentu bukan Salafi Bodong, tetapi tulisannya hanya dijadikan referensi dan menjadi korban plintiran oleh Hizb ini.

Setelah membaca ulasan saya, saya mengharapkan anda terbuka matanya akan pelintiran konyol gaya hizb Albaniyah. Di buku itu, ada beberapa kaidah tentang  masalah imam dan baiat. Salah satunya adalah kaidah: Wajibnya baiat pada Imam Muslim yang tegak lagi kokoh dan hukuman keras bagi orang yang tidak berbaiat serta ancaman bagi orang yang membatalkan baiatnya.


Di situ di-quote juga hadits yang terkenal tentang mencabut baiat:
Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak punya hujah untuk membela diri. Dan barangsiapa yang mati sedangkan tidak ada baiat di lehernya, maka mati dia dalam keadaan jahiliah.

Saya tidak habis pikir kalau masih saja ada yang berpendapat mati dalam keadaan mati jahiliah itu mati "tidak apa2" atau "mati biasa2" saja. Sudah jelas di situ konteks dan nuansanya adalah ANCAMAN, bahkan sang Syaikh saja menggunakan hadits ini sebagai ancaman bagi orang yang menarik baiat/tidak mau baiat.
Di kaidah ini juga terdapat beberapa hadits "ancaman" lain lagi yang digunakan untuk memperkuat hujah, antara lain: "Orang yang berkhianat (mencabut baiat) akan dipasang bendera (penghianat) di hari kiamat". Kemudian sang Syaikh juga menulis:"Dan sesungguhnya pengkhianatan yang palng besar, jika tidak ada penghianatan yang lebih besar (syirik) adalah: orang yang berbaiat kepada orang lain dalam rangka baiat ke Alloh dan rasulnya kemudian mengkhianatinya."

Pelajaran 1: jelas yang menganggap mati jahiliyah sebagai "mati biasa" adalah pelintiran MAUT yang nyata oleh Hizb Albaniyah. Hizb ini mengaggap mengikuti ulama salaf, padahal yang dilakukan adalah memanipulasi ulama salaf. Waspadalah! Waspadalah!

2. Di buku itu membahas wajibnya taat pada Pemerintah dan Pemimpin yang dibaiati. Di buku itu diuraikan cerita tentang kejadian dulu seperti berbaiatnya ibnu Umar kepada Abdul Malik setelah terjadi perpecahan dengan Ibnu Zubair.

Dalam membaca riwayat baiat kepada pemerintah, haruslah hati2 mencernanya. Pemerintah yang harus dibaiati dan ditaati adalah pemerintah yang berdasarkan AlQuran dan Al Hadits dan yang berusaha menegakkan syariat. Jadi harus ada landasannya: Quran dan Hadits, dan harus berusahan menegakkan syariat (ingat yang penting usahanya, bukan hasilnya). Jadi bukan pemerintahan presidensial seperti RI yang setiap 5 tahun diganti yang kadang presidennhya perempuan dan suatu waktu bisa saja seorang non-Muslim. Apa anda mau memberikan baiat ke orang Non-muslim?

Jadi riwayat-riwayat yang bertebaran tentang generasi setelah nabi dimana dilarang demonstrasi, dilarang menentang pemerintahan adalah pemerintahan yang berlandaskan Quran dan Hadits. Tidak ada satupun riwayat yang menerangkan taat pada pemerintahantidak berdasarkan Quran dan Hadits (meskipun di sana sini ada saja fitnah sang khalifah misalkan pernah minum khamr, dsb). Tidaklah dibahas kalau bentuk pemerintahannya seperti Amerika dengan presidennya George Bush atau Obama. Kalau ada contoh riwayat baiat kepada umat non-muslim, tolong disampaikan saja ke publik.

Nah kalau ada riwayat misalkan ibnu Umar mempertahankan baiat terhadap Yazid, itu semata-mata secara syariah Yazid (seorang muslim) memang berhak dibaiati, karena landasannya memang Quran dan Hadits, meskipun dari sisi ilmu dan kefakihan Yazid itu tidak yang se-ideal yang ibnu Umar inginkan. Jadi jangan disamakan dong ah dengan larangan demo dan taat ke Presiden Sarkozy yang bukan seorang muslim dan yang melarang orang berjilbab ke sekolah negeri. Sejak kapan ada dalil yang mengharuskan taat kepada non-muslim?
Inilah pelintiran kedua yang sangat fatal. Menurut hizb ALbaniyah, anda-anda dimanapun berada harus taat kepada presiden anda. Di mana letak pelintirannya?
a. Karena presiden anda tidak anda baiati. Ibnu umar tetap taat dan tidak mencabut ketaatan kepada Yazid karena memang dia telah BERBAIAT (janji setia) kepada Yazid.
b. Presiden tidak semuanya muslim. Di Amerika, Perancis, dll presidennya non-muslim ataupun bahkan perempuan.
c. Landasan memberikan baiat adalah kepada imam yang berjalan di atas Quran dan Hadits (meskipun dalam menjalankan tidak ada yang sempurna). Jadi kalaupun ada negara yang suasananya kondusif islami, tetapi tidak diikrarkan berazaskan Quran dan Hadits, tetap saja bukan pemimpin/pemerintahan yang dimaksud (bisa dibaiati).
Jadi jangan mengada2 taat kepada pemerintah. Taat itu ada SETELAH memberikan janji ketaatan (BAIAT). Adapun keinginan/kebijakan taat pada pemerintah (siapapun pemerintahnya) boleh-boleh saja. Tapi jangan bawa2 dalil taat kepada amirul mukminin. Taat kepada pemerintah sama halnya dengan taat kepada pemimpin perusahaan tempat kita kerja. Boleh-boleh saja sesuai kepentingan mutual (saling menguntungkan), tapi tidak ada hubungannya dengan mati jahiliyah.

3. Substitusi kata "imam" dengan "penguasa" yang serampangan.
Kita harusnya teliti dalam menerjemahkan sebuah hadits. Imam, Amir, Sulthon, Khalifah adalah sama-sama pemimpin. Tetapi kalau kita cermati dalil-dalil, yang wajib dipenuhi adalah baiat kepada imam. Imam bisa menjelma menjadi khalifah kalau qadarnya baik. Punya daerah kekuasaan dan berdaulat seperti negara Saudi. Tetapi kalau tidak sampai seperti saudi, tetap status nya adalah Imam, yang penting apa-apa yang diperintahkan sudah dijalankan (mengangkat imam dengan baiat).

Jadi jangan serampangan mensubstitusikan "imam" dengan "penguasa yang punya daerah kekuasaan" pada hadits2. Belum ada saya bertemu hadits yang mensyaratkan daerah kekuasaan kepada seorang imam. Yang ada, hanyalah, jika bertempat tinggal di daerah yang berkuasa seorang khalifah seperti di saudi, maka wajib untuk memberikan baiat dan taat pada khalifah tersebut yang otomatis menjadi amirul mukminin di daerah kekuasaannya.

Nah pelintirannya hizb Albaniyah adalah: yang namanya imam harus punya wilayah kekuasaan berdaulat seperti saudi. Kalau tidak ketemu/bertempat tinggal pada imam yang punya wilayah seperti saudi, lebih baik tidak baiat (lebih baik menentang perintahnya Nabi).

Sekarang terserah kepada anda, mana menurut anda yang lebih baik dan benar:

A. Taat kepada pemerintahan berdaulat (padahal tidak pernah memberikan baiat) yang mana pemimpin negara tersebut tidak berazazkan Quran dan Hadits dan si pemimpin itu belum tentu seorang muslim (Tidak ada tali baiat di leher, namun memberikan ketaatan tanpa baiat kepada pemimpin yang belum tentu muslim)

B. Taat kepada Imam yang dibaiati yang mengikrarkan jamaahnya berazazkan Quran dan Hadits, namun Imam tersebut tidak punya kekuasaan setara Saudi. (secara dalil sudah memenuhi yang diperintahkan, hanya tidak berbentuk negara).
waspada-khawarij.blogspot.com